Menantu wanita sering serba salah, karena tidak tahu apakah ia boleh mengeluarkan pendapat di depan ibu mertuanya, dan bagaimana sebaiknya cara penyampaiannya. Menantu sering takut salah bicara atau dapat menimbulkan sakit hati mertua. Tapi kalau dipendam di dalam hati terus, bisa-bisa makan hati dong, lama-lama bisa jadi benci kepada mertua.
-Dewi Dewo & Nies Endang, Penulis Buku The First 5 Years: 100+ Hal yang Istri Perlu Tahu -
Ya, masalah hubungan antara mertua dengan menantu memang adalah masalah klasik yang kerap terjadi di generasi manapun. Baik di generasi orang tua Bubu (kelahiran 1940 – 1960), generasi Bubu sekarang, dan mungkin nanti ketika Bubu saatnya menjadi mertua dari seseorang. Merasa tidak diterima, diperlakukan berbeda, dikritisi dan dikomentari, adalah beberapa keluhan yang sering saya dapat dari para menantu tentang ibu mertuanya.
Penelitian oleh Bryant, Conger, & Meehan (2004) mengatakan bahwa hubungan dengan keluarga asal pasangan, terutama yang berkonflik, dapat mempengaruhi kestabilan pernikahan, kepuasan, serta komitmen antara Bubu dan suami. Artinya apa? Meski menantang dan sulit, adalah kewajiban dan kebutuhan kita untuk membina hubungan yang baik dengan ibu mertua.
Dari pengalaman saya menjadi psikolog pernikahan, dan rekomendasi dari psikolog/konselor pernikahan lainnya, berikut ini beberapa Do’s and don’ts yang bisa dilakukan para Bubu untuk mulai membina atau mempertahankan hubungan yang baik dan harmonis dengan mertua.
Don’ts:
Memposisikan anak sebagai “senjata” dalam hubungan dengan mertua. Membatasi atau bahkan melarang anak ketemu kakek/neneknya tidak akan membantu membuat hubungan menjadi lebih baik. Tak kenal maka tak sayang, maka salah-salah malah kita bisa membuat anak terasingkan dari keluarganya sendiri.
Menyalahkan pasangan atas kekurangan orang tuanya. Tidak jarang ditemui pasangan pun mungkin merasa tidak nyaman dan terganggu dengan perilaku orang tuanya terhadap Bubu. Alih-alih melampiaskan kekesalan kita dengan menyalahkan pasangan “Orang tua kamu kenapa sih gitu amat!”, akan lebih baik bila bersama-sama menemukan solusinya.
Membuat asumsi atas sikap atau perilaku yang ditampilkan mertua. Asumsi dan imajinasi adalah 2 hal yang bisa berkembang bebas dan “liar”, bahkan seringnya mengarah ke hal yang negatif. Komunikasi terbuka dan asertif, bertanya, dan mengklarifikasi kepada mertua dapat meminimalisir terjadinya kesalahpahaman.
Menarik diri dari keluarga pasangan. Menolak datang ke rumah mertua, menolak datang ke acara keluarga pasangan, atau bahkan mengunci diri di kamar ketika mertua datang berkunjung ke rumah adalah beberapa perilaku yang kerap ditampilkan menantu yang tidak mau berkonflik. Hal ini tentu saja tidak akan membantu memperbaiki hubungan, justru malah menyimpan bom waktu. Regulasi diri, minta bantuan dan dukungan dari pasangan, agar tetap bisa nyaman dan “berani” datang ke acara keluarga adalah beberapa hal perlu terus dilakukan.
Membatasi interaksi pasangan dengan keluarganya. Mempertanyakan kenapa sering sekali pasangan pergi ke rumah orang tuanya, atau bahkan melarang pasangan pergi berkunjung di akhir pekan cukup jamak ditemui. Justru perilaku ini membuat mertua semakin tidak respect dengan Bubu sebagai menantu karena dianggap telah “mencuri” anaknya.
Do’s:
Asertif dan segera menyelesaikan kekecewaan yang dirasakan. Tidak ada manusia yang sempurna, dan kecewa adalah bagian hidup. Jadi tidak perlu kaget bila ada saatnya Bubu merasa kecewa dengan mertua. Selesaikan kekecewaan tersebut, misal dengan komunikasi asertif ke mertua, berkeluh kesah kepada suami, atau sekedar mengakui adanya perasaan kecewa tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar kekecewaan yang dirasakan tidak terus meningkat, tereskalasi, dan kemudian membuat kita menjadi benci dengan mertua.
Jaga harapan. Atau keep your expectations reasonable. Ingat bahwa mertua bukan seperti orang tua Bubu, yang artinya sangat mungkin mereka berpikir dan bersikap yang berbeda dari kebiasaan Bubu atau orang tua sendiri.
Berikan mertua peran dalam keluarga kecil Bubu. Di usia berapa pun, seseorang akan merasa senang dan berharga ketika mereka bisa berkontribusi dan membantu orang lain, apalagi keluarganya. Maka libatkan lah mertua dalam keseharian Bubu, dalam batas yang dapat ditolerir. Misal, titipkan anak ketika mau pergi kencan dengan suami di akhir pekan.
Tetap berperilaku sopan, baik secara verbal maupun perilaku. Karena anak adalah pengamat yang ulung, maka meski Bubu tidak menyadari, anak selalu mengamati apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Termasuk mengamati bagaimana cara Bubu berinteraksi dengan mertua. Berikan contoh yang baik kepada anak dengan tetap bersikap sopan.
Libatkan diri dalam aktivitas yang disenangi oleh mertua, sebagai sarana untuk quality time bersama mertua. Bukan berarti kita harus ikut menikmati sesuai dengan intensitas kesenangan mertua, tapi tindakan ini menunjukkan niat dan usaha kita untuk mau mengenal dan terlibat dalam kehidupan mertua. Juga menunjukkan kepada mertua bahwa Bubu peduli dan sayang terhadap mereka.
Pada akhirnya, memang tidak ada hubungan antara menantu dan mertua yang 100% harmonis. Sebaik-baiknya hubungan, pasti ada masanya terjadi konflik. Konflik bukanlah hal yang buruk, tapi yang terpenting adalah bagaimana cara kita meresponnya agar tidak memperburuk konflik itu sendiri. Bila memang intensitas hubungan dengan mertua saat ini negatif, Bubu selalu bisa lakukan satu hal ini untuk menenangkan diri, bernapas! Breathe in, breathe out, this too shall pass. Selamat menjadi istri dan menantu! ?
Oleh: Nadya Pramesrani, M. Psi., Psi
Psikolog Keluarga dan Pernikahan