“Parenthood is considered to be one of the most significant development tasks of adulthood (Dion, 1985), perhaps marking the end of immaturity better than any other role (Hoffman & Manis, 1979), and affecting definitions of self, relationships with others, and lifestyle.”
Ya, menjadi orang tua memang membawa banyak sekali perubahan bagi seseorang. Tidak hanya bertambah peran baru dari suami istri, tapi juga menjadi ayah dan ibu. Kehadiran si Kecil pun, bahkan sejak masih di kandungan, bisa mendorong kedua orang tuanya untuk menjadi seseorang yang lebih baik, agar bisa terus memberikan yang terbaik bagi si Kecil.
Kehadiran si kecil pasti membawa kebahagiaan ya, tapi pernah ga Bubu merasa ada perubahan kualitas hubungan dengan suami sejak ada si kecil? Mungkin jadi lebih jarang kencan, atau sulit mengobrol? Beberapa penelitian menemukan bahwa terjadi penurunan tingkat kepuasan pernikahan setelah pasangan suami istri bertransisi menjadi ayah dan ibu (Schulz et al, 2006; Pacey, 2004; Tomlinson, 1996; Dalgas-Pelish, 1993; Belsky and Pensky, 1988).
Mengapa hal ini bisa terjadi? Ada 4 tantangan dalam pernikahan yang dialami setelah memiliki anak, yaitu (1) Pasangan suami istri lebih sering berkonflik akibat komunikasi buruk; (2) Bertambahnya stress pribadi karena ada tuntutan dan tanggung jawab finansial yang bertambah; (3) Bertambahnya beban kerja, di rumah maupun di tempat kerja; dan (4) Berkurangnya waktu berkualitas yang dihabiskan Bubu dengan suami karena tanggung jawab-tanggung jawab lainnya.
“Yaudah jalanin aja dulu, nanti juga baik-baik saja lagi seperti biasa. Sekarang fokus adaptasi dengan kebutuhan dan kebiasaan baru setelah ada si Kecil saja.” adalah kalimat yang cukup sering saya dengar dari pasangan suami istri ketika mereka menyadari adanya penurunan kualitas hubungan. Namun, benarkah akan kembali baik-baik saja tanpa ada usaha yang dilakukan untuk menjaga hubungan suami istri? Salah satu bentuk komunikasi buruk yang kerap ditemui di pasangan suami istri adalah menumpuk masalah. Sehingga ketika akhirnya komunikasi terjadi, diskusi yang dilakukan melebar ke hal-hal yang sudah di masa lampau, yang tidak relevan dengan situasi yang sedang dihadapi.
Pernikahan merupakan satu kondisi yang membutuhkan usaha dan kerja sama terus menerus, untuk memastikan kedua pihak yang terlibat di dalamnya tetap mencintai satu sama lain. Love don’t just happen.
Jadi apa yang bisa dilakukan Bubu dan suami untuk tetap bisa menjaga kualitas hubungan? John Gottman, seorang terapis dan peneliti yang bergerak di bidang hubungan romantic dan pernikahan, dalam bukunya “The Seven Principles for Making Marriage Work” merumuskan beberapa hal yang dapat dan perlu dilakukan pasangan suami istri, sepanjang masa.
1. Terus menerus memperbarui peta cinta
Suami istri yang langgeng dalam pernikahannya memiliki pemahaman (insight) yang mendalam dan up-to-date mengenai pasangannya, serta mengetahui apa yang terjadi dalam hidup dan dunia pasangannya. Mereka berbagi cerita dan perasaannya masing-masing untuk memahami satu sama lain. Beberapa contoh pertanyaan yang dapat diajukan Bubu ke suami adalah saat ini di pekerjaan sedang ada proyek apa yang menyita banyak waktumu, ada impian atau cita-cita apa yang ingin kamu capai dalam 1-2 tahun ini, musik yang senang kamu dengarkan sekarang apa, film yang kamu suka dan lagi ingin sekali ditonton apa saja, apa saja yang sedang menjadi kekhawatiran dalam hidupmu saat ini, dan lain-lain. Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan seperti dulu ketika masih berpacaran dan Bubu ingin tahu segalanya tentang hidup dia. Karena meski sudah menikah, selalu ada hal baru yang bisa kita pelajari dan baru ketahui dari pasangan ?
2. Mengekspresikan cinta pada satu sama lain
Tiap orang memiliki gaya bahasanya sendiri dalam mengungkapkan rasa cinta kepada pasangan. Kenali bahasa diri sendiri dan pasangan agar tahu bagaimana cara masing-masing saling mengungkapkan cinta. Di akun Instagram Sahabat Ibu Pintar kita sudah bahas juga mengenai macam-macam bahasa cinta. Yuk Bubu coba cek di link berikut ini: https://www.instagram.com/p/BticiABgEz6/?utm_source=ig_web_button_share_sheet
3. Biarkan pasangan mempengaruhi Anda
Masalah dalam pernikahan biasanya disebabkan oleh adanya pasangan yang terlalu mendominasi dan tidak mau berbagi kuasa. Membuat kesepakatan bersama terkait pengaturan rumah tangga, pengasuhan anak, dan hal lainnya seputar kehidupan berkeluarga. Kesediaan pasangan untuk berbagi kuasa, serta menghargai sudut pandang dan cara kerja pasangannya, dapat mengarah pada terbentuknya kompromi.
4. Resolusi konflik
Ketika ada konflik, atau hal yang membuat tidak nyaman, diskusikan dan selesaikan. Ada beberapa hal yang perlu diingat bila akan melakukan resolusi konflik. Pertama, pastikan waktu dan tempat kondusif, missal ketika Bubu dan pasangan sedang sama-sama dalam kondisi segar, tidak Lelah sehabis pulang bekerja. Kedua, hindari menuduh dan menyalahkan, sampaikan saja apa yang Bubu atau pasangan rasa tidak nyaman. Ketiga, tunjukkan komunikasi verbal dan nonverbal yang menunjukkan bahwa Bubu/pasangan mendengarkan untuk memahami. Keempat, hentikan diskusi bila intensitas konflik meningkat. Tenangkan diri terlebih dahulu sebelum melanjutkan proses resolusi konfilk. Dan terakhir, kompromi, buat kesepakatan Bersama untuk menyeleasaikan masalah.
Di antara banyaknya tuntutan dan tanggung jawab terkait anak dan pekerjaan, rasanya ingin sekali untuk hubungan suami istri ini bisa berjalan baik-baik dengan sendirinya. Namun menginvestasikan waktu dan tenaga untuk memupuk hubungan pernikahan yang memuaskan, akan baik juga dampaknya terhadap tumbuh kembang anak. Because happy children, comes from happy parents. And happy parents, comes from happy marriage.
By: Nadya Pramesrani, M. Psi., Psi.
Psikolog Keluarga & Pernikahan