Pertemuan keluarga besar itu bisa buat mix feelings ya. Di satu sisi senang karena bisa bertemu anggota keluarga yang jarang ditemui. Di sisi lain bisa buat cemas juga karena adaaa saja yang suka berkomen negatif.
Makanya sebagian orang, mungkin termasuk Bubu, jadi malas datang dan akhirnya memilih untuk menjauh. Padahal seperti pepatah lama ya, tak kenal maka tak sayang. Bagaimana kita bisa nyaman dan senang berinteraksi dengan keluarga besar kalau kita justru menjauhi mereka.
Miskom alias salah paham dalam berkomunikasi dengan keluarga seringkali menjadi sumber konflik. Sehingga, belajar dan tahu bagaimana caranya berkomunikasi dalam keluarga adalah skill yang sepertinya perlu dimiliki semua orang ya agar tetap harmonis dengan keluarga besar. Komunikasi keluarga adalah proses pertukaran informasi antar anggota keluarga dengan cara verbal dan non-verbal (Epstein et al, 1993).
Komunikasi meliputi di dalamnya kemampuan untuk memperhatikan apa yang disampaikan dan dirasakan lawan bicara. Terjalinnya komunikasi dalam keluarga sangatlah penting karena dengan ini masing-masing anggota dapat saling mengekspresikan kebutuhan, keinginan, dan kepeduliannya terhadap satu sama lain (Peterson, 2009).
Menurut Peterson (2009) ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menciptakan komunikasi keluarga yang sehat:
Sering-sering berkomunikasi
Karena keterbatasan waktu, maka berkumpul bersama keluarga memang menjadi suatu hal yang sulit untuk dilakukan dengan sering dan rutin. Namun di era digital ini, kita bisa memanfaatkan teknologi untuk tetap menjaga komunikasi dengan keluarga. Dengan menjaga frekuensi komunikasi dengan anggota keluarga, maka kita pun dapat menjaga kualitas hubungan emosional dengan mereka.
Langsung dan jelas
Hindari menggunakan sindiran atau pesan-pesan tersembunyi. Sampaikan apa yang ingin dikatakan atau dirasakan dengan jelas. Bila informasi yang ingin disampaikan adalah info baik, pasti tidak sulit ya. Namun bagaimana bila yang perlu disampaikan adalah masalah? Gunakan teknik I-message yang terdiri dari apa yang saya rasa/pikir – atas perilaku yang dilakukan orang lain – harapan perilaku yang ingin dilakukan.
Misal ketika menghadapi anggota keluarga yang “usil” mengomentari bentuk tubuh kita, sampaikan bahwa “Eh aku ga nyaman deh diomongin tentang bentuk fisik gini. Kayaknya enakan kita bahas hal lain seperti saat ini masing-masing sedang sibuk mengerjakan apa.”
Mendengar aktif
Mendengar bukan untuk membalas, tapi mendengar untuk memahami apa yang disampaikan dan dirasakan oleh lawan bicara. Dengan mendengar aktif, maka kita berusaha untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, mengetahui dan menghargai perspektif lawan bicara terhadap situasi tersebut. Bayangkan betapa banyaknya masalah keluarga besar yang timbul ketika selama ini lebih banyak yang mendengar untuk membalas daripada untuk memahami.
Saya beberapa kali menjadi saksi ketika komunikasi keluarga menjadi canggung ketika keluarga menjawab tanpa memahami perasaan lawan bicaranya. Contohnya: "Aduh, aku pusing nih, anak aku nilainya di sekolah hanya rata-rata". Ditanggapi dengan "Anak saya sih tergolong pintar di kelas. Ga tau deh, padahal saya ga pernah bantu dia belajar. Bisa sendiri aja tuh." dan semacamnya. Rasanya kok gemas ya, kita lagi berkeluh kesah malah ditanggapi dengan cerita seperti itu. Tidak ada tanggapan yang positif malah membuat pendengar semakin merasa tidak nyaman.
Perhatikan pesan non-verbal
Selain mendengarkan apa yang secara verbal disampaikan, pendengar yang aktif juga memperhatikan perilaku-perilaku non-verbal yang disampaikan. Dengan memperhatikan bahasa tubuh yang ditampilkan, apakah dia terlihat senang, sedih, marah, atau lainnya, akan membantu kita dalam berempati dan memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan.
Kontrol respon diri, bukan respon orang lain
Ya, kita tidak bisa mengontrol apa yang boleh dan tidak boleh diomongkan oleh orang lain. Tapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita bereaksi terhadap topik atau komentar yang tidak menyenangkan tersebut. Tentu saja dengan tetap memperhatikan tata krama sosial dan sopan santun dalam merespon omongan tidak enak tersebut.
Pastinya banyak tantangan dalam menciptakan komunikasi keluarga yang sehat ini, apalagi dengan keluarga besar. Semakin banyak orang, semakin banyak pula tantangannya. Namun, tantangan ini akan sepadan hasilnya dengan kita yang jadi mempunyai sistem dukungan sosial yang kokoh dari keluarga, harta yang paling berharga. Selamat mencoba!
Oleh: Nadya Pramesrani, M. Psi., Psi
Download gambar disini